Tempayung langlai terkulai di bingkai
Berwindu-windu menari menjamu tamu yang semu Kian hari, kian layu Bunga bibirmu, menjelma bunga latar Menghantui, palsu Sedang raut puisimu, melucuti seluruh curiga Entah harus apa, aku mengambang. . Klandestin aku menguap Menggumpal awanama Selidik gelagat matamu bermuara . Sontak telinga bertemu angin dan kabar duka seketika, kursi taman dan senja kita melapuk rapuh di sudut mata meronta haru biru menitis sungai pilu basah, lembab pipiku. Mungkin aku lalai hingga kau hadiahkan badai lalu kuukir puisiku di sebongkah nisan, mendekapnya, menguburnya sendiri berulang kali. -Ergente Lahilote-
0 Comments
Firdausku hilang ... firdausku hilang
Tolong ... kembalikan! Siapa pun ... aku mohon jangan renggut ia dariku Dimana lagi kalau bukan aku? Kalau bukan darinya? Negeri ini hidup di telapak kakiku Mau makan apa? Kalau surga di kakiku tak ada lagi Kalau sawah dan ladang tak digarap lagi Malah ditanami benteng-benteng tirani Kemana anak cucumu berdomisili? Beranak pinak lagi, Kalau bukan di rumah mereka sendiri Kalau rumah mereka kini runtuh tak berbentuk lagi Surga mereka menjelma neraka pagi hari Tolonglah ... jangan gadai tanah ini Walau kau harus mati berdiri Aku menua dan jerangkak kini Memikul dosamu yang kian hari membukit Pahit ... sakit ... sudah kucicipi Tak kusisakan untukmu Anakku, Indonesia Pergilah! Cari kembali firdaus Ilahi Jagalah ia dengan hati nurani Jangan percaya kata-kata mereka para raksasa keji Menyelamlah pada tatapan matanya Dan kau temukan kemunafikkan berujung kudeta bersemayam disana Kembalilah! Bawa firdausku, firdausmu kembali. Jika Kata Tuhan, Indonesia itu satu
Kata Indonesia, Tuhan itu satu dan satu-satunya Tuhan punya surga Indonesia pun punya surga, surga Tuhan Adalah Indonesia surga Tuhan yang hilang Pun Indonesia kehilangan Tuhannya Kini, Indonesia tak lagi surga Tuhan Nyaris tak berbekas Indonesia tetap surga Tuhan Jika Hindu bukan India Jika Nasrani bukan Vatikan Jika Yahudi bukan Israel Jika Konghuchu bukan Cina Dan Islam bukan Arab Tapi, Indonesia. -Ergente Lahilote- Samata, 18 November 2016 Tak ku temukan Engkau pada secangkir tuba yang menemaniku berlarut malam ini
Tapi Kau mengalir dari mata air langit, air mataku. Di sepertiga gulitaMu Tak ku temukan Engkau pada hingar-bingar ibu kota yang menua dan jerangkak Tapi Kau merambat laun pada bisikan-bisikan pemujaMu. Walau ganjil. Nyaris seratus Tak ku temukan Engkau pada teriakan wajah-wajah tegang pemuka negeri Tapi Kau hadir di sepasang mata bocah yatim yang tak berbadan lagi Terima kasih telah hadir Bersama ribuan peluru yang melubangi rumah dan kepalaku Di setiap dentuman misil yang menghiasi kotaku Kotaku kini merah karena api dan darah Setidaknya Engkau hadir disini Di sampingku Menghadiahkan kafan untuk ayah, ibu, dan anak-anakku Duhai Tuhanku, Hapuslah perih luka di wajah kota ini Jangan biarkan ia terus tertidur Dan bermimpi yang abadi -Ergente Lahilote- Gowa, 06 November 2016 Buntu ...
Puisiku buntung maut, membelai rusuknya gerogoti sumsum katanya. ada yang hilang, ada yang lucu, puisiku tak bermajas. Hujan,hujat memeluk hangat, panas bak kebakaran di tengah sahara. Puisiku tak berima, hina kelucuan tak terhingga kehilangan yang sempurna. Puisiku membusuk bangkai bunga, bingkai baitnya melilit mesra, indah umpama taman surga yang mati kehausan. Temui aku di persimpangan mata dan lampu kota yang terpejam aku selalu disana, menunggumu menyuapiku majas indah kembali. -Ergente Lahilote- |
Author"Hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya" -Laskar Pelangi- ArchivesCategories |